Mengusir raksasa
Cerita anak indonesia.
JAM DUA belas malam. Aku baru
selesai mengaji. Tiba-tiba diluar terdengar pintu rumahku diketuk. “siapa,
hah?” tanyaku sambil bergegas menuju ke ruang depan. Hatiku mulai curiga.
Jangan-jangan tukang kredit yang datang, sebab hampir tiga bulan terakhir aku
selalu menghilang bila dia menagih.
“Siapa?” tanyaku sekali lagi, “Aku orang baik-baik. Aku
suka mengaji dan rajin sholat. Aku ngga punya tatoo.” Teriakku dari dalam.
Maklum pikiranku was-was. Takut yang datang adalah penembak misterius.
“Bang Dul. Buka!” teriak dari luar, “Kami keluarga binatang
hutan. Kami sahabatmu.”
Hah?? Mau apa mereka datang malam-malam begini? Tanpa ragu
lagi pintu segera kubuka. Pertama yang muncul adalah kera, kemudian anjing, terus
Kucing, Tikus, Bebek, Beruang dan banyak lagi. Wajah para sahabat ini kelihatan
sedih banget. Aku heran.
“Ada apa?” tanyaku pada kera yang memimpin rombongan itu.
“Begini bang Dul,” kata Kera, “Seminggu lalu, di hutan
kami, datang raksasa. Dia mengacau. Baru sekarang kami sempat melapor pada bang
Dul.”
“Raksasa? Raksasa dari mana?” tanyaku.
“Entahlah. Mungkin raksasa misterius.” Jawab Beruang.
“Tolonglah kami, bang Dul.” Rengek Bebek.
“Iyya, bang dul. Kemarin anakku, si Kicrut, dijitak
kepalanya sampai peyang.” Lapor Beruang.
“Anakku juga, si Blegug, sampai hari ini ngga bisa berak,
gara-gara diplototin raksasa itu.” Sambung Kucing.
Aku jadi
garuk-garuk kepala mendengar kabar sedih ini.
“Sudah,
sudah. Jangan ribut. Coba, kalian siapkan obor. Malam ini juga aku akan ke
hutan.” Kataku sambil bergegas ganti pakaian. Kolor dan kain sarung, itulah
pakaian kebanggaanku.
“Memangnya
selama ini bang dul kemana aja?” tanya Kera ditengah perjalanan.
“Aku baru
saja selesai mengikuti lomba di mexico.”
“Lomba apaan,
Bang dul?” sambung Tikus.
“Anu.
Lomba Kentut Terpanjang se-Dunia.” Jawabku, “dan alhamdulillah, aku keluar
sebagai juara pertama. Panjang kentutku 10 menit koma sembilan puluh sembilan
detik.”
“Juri dan
penontonnya pada kebauan, dong.”
“Bukan
Cuma bau, tapi mereka pada mabok. Maklum, aku sengaja makan jengkol, pete dan
lalapan lainnya.”
“Katanya
bang Dul juga kursus jadi wasit sepak bola.”
“Betul.
Bahkan sudah lulus. Tapi aku mengundurkan diri waktu disuruh memimpin
pertandingan antara kesebelasan Irak melawan Iran.”
“Di tengah
hutan, Harimau sedang bertarung melawan raksasa.” Lapor Kera. Aku bersama
seluruh warga rimba, menuju ke tempat yang dikatakan oleh Kera.
Benar
saja. Dari kejauhan, kulihat harimau tengah dibanting-banting oleh raksasa yang
besarnya minta ampun itu. Aku jadi geram dan juga kasihan. Segera saja aku
berlari ke dekat pertempuran itu.
Kupegangi
paha raksasa, lantas aku gelitik pake bulu ayam. Karena geli, harimau jadi
terlepas. Raksasa itu jadi kegelian. Aku tetap berpegang erat pada pahanya.
Tapi tidak lama. Sebab beberapa saat kemudian, raksasa itu kentut. Dan
kentutnya, buuset, membuatku terpental membentur pohon.
“Hei,
manusia!!” Jangan kurang ajar. Kalau berani, jangan main gelitikan, dong!”
raksasa itu marah-marah, “Kaukah yang bernama Dul Teler itu?” lanjutnya
bertanya.
“Benar.
Akulah Dul Teler yang bakal melindungi seisi hutan ini.
“Haahahahahahahaaa.”
Raksasa itu tertawa. Jigongnya yang kuning membuat nafasnya tak sedap di
hidung.
“Aku telah
menjelajahi ke seluruh penjuru dunia. Aku ingin membuktikan, siapa sebenarnya
yang paling jago di jagat ini. Siapa lagi kalau bukan aku? Benar tidak, Dul?”
“Jangan
sombong kau!” teriakku geram, padahal hatiku kecul juga melihat matanya yang
sebesar mangkok. “Kalau kau memang bermaksud sok jago di hutan ini, besok aku
akan menantangmu di pinggir bukit sebelah utara. Bagaimana?!”
“Hooohoooohooo.
Boleehh. Besok kepalamu yang gundul itu akan kupelintir terus kubawa ke
negeriku. Akan kusate, atau kubikin rendang.”
Dadaku
mengkeret mendengar ancamannya. Tapi berhubung gengsi, aku tetap bersikap
kesatria di hadapan seluruh warga rimba.
Subuh itu
juga, Gatotkaca kusuruh pergi ke Amerika untuk membeli kaca pembesar ukuran 25
meter persegi. Paginya pesananku itu sudah terpenuhi.
“Cepat
betul, Tot.” Tanyaku.
“Terang
dong. Di tengah jalan aku balapan sama pesawat tempur vietnam, Dul. Mereka
mencurigaiku.”
“Ohh, ya?”
“Makanya
kau buru-buru. Ini kaca pembesar yang kau pesan. Aku langsung permisi aja, deh.
Aku harus menghadiri Konfrensi Meja Lonjong di negeriku.”
“Oke, dah.
Makasih atas bantuanmu.”
PAGI ITU
suasana ramai dan tegang. Seluruh warga hutan, secara bergotong royong telah
memasang kaca pembesar itu di pinggir bukit. Setelah selesai, Kera kusuruh
untuk memanggil raksasa itu.
Lima belas
menit kemudian Kera datang lagi.
“Sebentar.
Raksasa itu lagi sarapan.”
Tak lama
kemudian yang ditunggu-tunggu pun datang. Raksasa itu melangkah dengan
sombongnya. Ia mengenakan celana Levi’s.
“Hahahahaha.
Mana dia si Dul Teler?” bentaknya.
Aku
membuka suara dari balik kaca pembesar, “Hei Raksasa sombong! Menghadaplah
kemari. Aku, dul Teler, telah berubah menjadi raksasa sepertimu juga. Lihatlah
kemari, ke sebelah kiri!”
Kulihat
raksasa itu berbalik arah. Kini ia menatap kaca pembesar. Dan tampak wajahnya
yang berubah kaget. Sedikit Pucat. Rupanya ia melihat, di kaca pembesar itu,
raksasa yang lebih besar dari dirinya, meskipun wajah dan tubuhnya persis sama.
Ia tidak tahu, bahwa di kaca itu adalah banyangan dirinya sendiri. Raksasa itu
memang bodoh.
“Dul
Teler, walaupun kau bisa merubah dirimu, aku ngga takut. Tahan pukulanku!”
Raksasa itu melepaskan celana Levi’snya. Tinggal pakai sempak saja. Lantas
kakinya menggaruk-garuk tanah. Mulutnya berbusa karena marah. Detik berikutnya,
raksasa itu berlari ke arah kaca pembesar dengan tangan diputar-putar.
Bersamaan dengan itu pula, aku berlari dari balik kaca pembesar menuju ke
pinggir.
Aku
menahan nafas. Seluruh warga hutan menahan nafas. Raksasa itu makin dekat ke
kaca pembesar. Makin dekat. Makin dekat. Daan....
Praanggggggggg!
Kaca itu pecah terhantam pukulan raksasa yang mengamuk. Tapi, seperti yang
kuharapkan, raksasa itu kehilangan keseimbangan tubuhnya. Benar saja. Raksasa
itu tidak bisa mengerem larinya. Akhirnya, ia ikut terjungkal bersama kaca
pembesar yang berantakan. Jatuh ke dalam jurang!!
“Horeeeeeeeee!
Hebat bang Dul. Hidup bang Teler!” pekik seluruh warga hutan yang gembira.
Aku
tersenyum. Kutatap jurang di bawah.
“Itulah
balasan bagi mahluk yang sombong.” Ucapku dalam hati.******* dongeng dan cerita
untuk anak
Komentar
Posting Komentar